Monday 7 March 2016

Kisah Nyata Seorang Dokter bersama Tiga Pasien Perempuan (Ada Apa Gerangan?)

Kehidupan kita semasa kecil dulu amat sangat berbeda dengan saat ini. Pergaulan, sumber hiburan, dan pelajaran sekolah zaman kita dulu mungkin dikatakan “sangat tertinggal” dibandingkan anak-anak zaman sekarang.

Dulu, saat kita belum pulang ke rumah sampai sore hari, orang tua kita mesti sudah mencari anaknya dengan cemas ke mana-mana. Bahkan sampai ada yang membawa sapu kecil untuk menghukum anaknya yang terlambat pulang tanpa izin. Tapi saat ini, pemandangan tersebut seakan jarang kita temui. Banyak orang tua membiarkan anak-anaknya bebas bermain di mana pun dan kapan pun tanpa aturan, dengan alasan untuk kebebasan si anak dan memperluas pergaulan anak. Pada usia dini pun, anak-anak bebas bergaul dan meraup informasi dari teman-temannya tanpa bisa memilah-milih, karena pergaulan mereka memang dengan komunitas yang sedang sama-sama — diistilahkan — “mencari jati diri”.
Bagaimana hasilnya? Informasi dari internet, gadget, dan yang lainnya ditelan mentah-mentah oleh si anak, tanpa bisa membagi “ini buruk” dan “ini baik”.
Memang sunnatullah bahwa zaman ke zaman semakin rusak, seperti yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَا مِنْ عَامٍ إِلَّا الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ
“Tidak ada satu masa (yang datang), kecuali masa setelahnya itu lebih buruk darinya, sampai kalian menjumpai Rabb kalian.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2132)
Pada kesempatan ini, saya ingin menceritakan beberapa kisah nyata yang saya temui. Semoga dapat diambil faedahnya dan menjadi penyemangat kita untuk mendidik anak-anak kita dengan dipandu Al-Quran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tak lekang dirongrong zaman.

# Perempuan ke-1
(P: pasien, D: dokter)
Seorang pemudi usia 15 tahun datang ke klinik dengan diantar oleh seorang pemuda seusianya.
P: (dengan muka ragu-ragu) “Dok, saya terlambat datang bulan.”
D: (melihat data pasien di kertas rekam medis: usia 15 tahun) “Oh, berapa hari?”
P: “Hmm … sekitar 2 mingguan, Dok. Enggak apa-apa itu, Dok?”
D: “Coba saya periksa dulu ya.” (dokter memeriksa pasien)
Beberapa menit kemudian.
D: “Silakan duduk, Dik. Biasa itu, Dik. Masih ABG soalnya, jadi hormon menstruasi belum stabil.”
P: “Hmm … kalo tes urin bisa enggak, Dok?”
D: “Loh, kenapa tes urin? Sudah menikah, belum?”
P: “Belum sih, Dok.”
D: “Ya sudah, ndak perlu. Tes urin ‘kan buat mengetahui hamil atau tidak, kecuali kamu berbuat ‘yang enggak-enggak’. Nih resepnya, minta di depan ya!”
Pasien keluar, berbincang dengan si pemuda. Kemudian masuk lagi ke ruang praktik.
P: “Dok, saya ingin tes urin.”
D: (menghela nafas) “Ya, boleh. Silakan minta sama karyawan saya tesnya.”
Beberapa menit kemudian.
P: “Ini, Dok. Hasilnya.”
D: “Garis 1, negatif.”
P: (tersenyum) “Terima kasih, Dok.”
Si pemudi keluar, berbincang, dan tertawa bersama si pemuda yang mengantarnya. Puaskah mereka dengan hasil urin tadi? Allahu a’lam.

# Perempuan ke-2
ABG (wanita) usia 18 tahun datang berobat sendirian.
D: “Silakan duduk, Dik. Ada keluhan apa?”
P: “Hmm … saya kalau kencing kok sakit, Dok? Terus, kok kayak ada cairannya? Kayak nanah gitu.”
D: (mengernyitkan dahi) “Ada nanahnya? Keputihan juga kayak gitu?” (mencoba meyakinkan pasien)
P: “Iya, Dok. Ada nanahnya.”
D: “Yuk, saya periksa.”
Dokter memeriksa pasien dengan teliti, khususnya pada keluhan utamanya.
D: “Sudah selesai. Duduk dulu, Dik. Hmm … maaf, Dik. Apa kamu pernah berhubungan sama laki-laki sebelumnya?”
P: (dengan wajah polos) “Iya, Dok.”
D: “Kapan?”
P: “Kira-kira sepuluh hari yang lalu.”
D: “Ya Allah … kok kamu mau sih, Dik?” (geleng-geleng kepala)
P: “Terus, kata pacar saya, ‘Kamu kena sipilis itu. Cepat berobat! Saya juga kena itu kata dokter di sini.'”
D: “Loh, pacarnya di mana sih?”
P: “Di Kalimantan, diusir orang tuanya karena enggak mau kuliah.”
D: “Aduh, Dik … Dik …. Kalau pacarmu terkena penyakit itu, berarti pacarmu itu pernah berhubungan sama wanita yang lain juga. Biasanya yang kena begituan PSK loh. Terus, apa enggak takut, Dik? Itu dosa besar loh, zina! Ini saya kasih obat, nanti kontrol lagi ya. Dan ingat, jangan melakukan hal itu lagi ya.”
P: (mengangguk-angguk)
Dua bulan kemudian si ABG datang lagi dengan seragam SMU-nya.
P: “Dok, hmm … kencing saya sakit lagi.”
D: “Loh, kok bisa? Kamu melakukan ‘itu’ lagi?”
P: (mengangguk-angguk) “Dan sekarang sakit sekali, Dok.”
D: “Ya Allah … kenapa sih, Dik? ‘Kan kemarin saya sudah memperingatkan, itu penyakit berbahaya loh, nanti bisa mengakibatkan kemandulan. Mau tanggung jawab enggak tuh nanti pacarmu? Kalau memang cinta sekali, nikah aja sekarang!”
P: “Pacar saya sudah janji, nanti kalau saya sudah lulus. Orang tua saya juga sudah mengizinkan.”
D: (geleng-geleng kepala) “Lah, walaupun sudah direstui, tetap enggak boleh ‘begitu’ loh, Dik. Ini parah sekali loh infeksinya. Ya udah, ini saya obati. Tapi kalau tetap enggak ada perubahan, saya sarankan ke dokter kulit dan kelamin langsung. Ingat-ingat loh, Dik, jangan terbujuk rayuan si pacar, tapi ingat-ingat itu dosa dan bisa berdampak buruk sama kesuburan. Sama masa depan kalian berdua juga insya Allah.”
Si ABG terdiam dengan raut wajah biasa, sepertinya cintanya sama si pacar memang mengalahkan argumen bu dokter.

# Perempuan ke-3
ABG usia 18 tahun datang didampingi ibunya.
Ibu: “Dok, ini anak saya lagi kerja di Jakarta, terus pulang karena sakit. Begini, Dok. Perutnya kok kelihatan besar, ya? Terus katanya kok ada yang gerak-gerak gitu. Anaknya jadi lemas, badannya enggak enak.”
D: “Hmm … haid terakhir kapan sih, Dik?”
P: “Hmm … kapan, ya? Lupa.”
D: “Silakan naik ke tempat periksa.”
Beberapa menit kemudian setelah selesai pemeriksaan
D: “Punya pacar enggak sih, Dik?”
P: “Punya.”
Ibu: “Pacarnya juga kerja di Jakarta, Dok.”
D: “Oh … ini bayi, Bu. Yang gerak-gerak itu bayi.”
Ibu: “Ya Allah …. Bayi?”
Ibu: “Kamu hamil?” (sambil mencolek anak perempuannya. Si ibu masih kelihatan tidak percaya)
P: (diam, kelihatan bingung)
D: “Sama siapa sih, Dik? Sama pacarnya itu?”
P: (mengangguk-angguk)
P: “Ya udah, ini saya kasih vitamin aja ya. Silakan tebus di depan.”
Sambil keluar dari kamar periksa, si ibu masih terus mencolek anaknya, “Kamu hamil? Kamu hamil?”

Subhanallah … miris sekali, bukan?
Remaja tidak kenal konsep pembuahan, apalagi mengenali bahwa mereka saat itu dalam keadaan hamil. Apakah mereka juga tidak paham bahwa perbuatan yang mereka lakukan adalah dosa besar? Dosa besar! Allahul musta’an.
Ini adalah PR besar kita sebagai orang tua, sebagaimana yang diperintahkan Allah,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلآئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادُُ لاَّيَعْصُونَ اللهَ مَآأَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَايُؤْمَرُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)
Kemudian sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanyai tentang kepemimpinannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim; hadits riwayat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu)
Semoga Allah melindungi anak-anak kita dari propaganda “kebebasan” yang kebablasan. Sedari dini kita tanamkan ilmu agama yang benar sesuai petunjuk Al-Quran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Saring dan bimbing mereka dalam menerima informasi dari berbagai media. Awasi selalu dengan siapa mereka bergaul, terutama anak-anak kita yang mulai menginjak usia remaja.
Kelak, kita akan berdiri di hadapan Allah untuk mempertanggungjawabkan didikan kita terhadap mereka.
Ya Allah, mudahkan kami pada hari hisab nanti. Bimbinglah kami dalam mendidik putra-putri kami dan mohon ampuni kami jika kami salah dalam mendidik mereka.
Semoga kelak kita dikumpulkan di surga bersama keluarga yang kita sayangi. Amin ….
**

Kehidupan kita semasa kecil dulu amat sangat berbeda dengan saat ini. Pergaulan, sumber hiburan, dan pelajaran sekolah zaman kita dulu mungkin dikatakan “sangat tertinggal” dibandingkan anak-anak zaman sekarang.
Dulu, saat kita belum pulang ke rumah sampai sore hari, orang tua kita mesti sudah mencari anaknya dengan cemas ke mana-mana. Bahkan sampai ada yang membawa sapu kecil untuk menghukum anaknya yang terlambat pulang tanpa izin. Tapi saat ini, pemandangan tersebut seakan jarang kita temui. Banyak orang tua membiarkan anak-anaknya bebas bermain di mana pun dan kapan pun tanpa aturan, dengan alasan untuk kebebasan si anak dan memperluas pergaulan anak. Pada usia dini pun, anak-anak bebas bergaul dan meraup informasi dari teman-temannya tanpa bisa memilah-milih, karena pergaulan mereka memang dengan komunitas yang sedang sama-sama — diistilahkan — “mencari jati diri”.
Bagaimana hasilnya? Informasi dari internet, gadget, dan yang lainnya ditelan mentah-mentah oleh si anak, tanpa bisa membagi “ini buruk” dan “ini baik”.
Memang sunnatullah bahwa zaman ke zaman semakin rusak, seperti yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَا مِنْ عَامٍ إِلَّا الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ
“Tidak ada satu masa (yang datang), kecuali masa setelahnya itu lebih buruk darinya, sampai kalian menjumpai Rabb kalian.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2132)
Pada kesempatan ini, saya ingin menceritakan beberapa kisah nyata yang saya temui. Semoga dapat diambil faedahnya dan menjadi penyemangat kita untuk mendidik anak-anak kita dengan dipandu Al-Quran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tak lekang dirongrong zaman.

# Perempuan ke-1
(P: pasien, D: dokter)
Seorang pemudi usia 15 tahun datang ke klinik dengan diantar oleh seorang pemuda seusianya.
P: (dengan muka ragu-ragu) “Dok, saya terlambat datang bulan.”
D: (melihat data pasien di kertas rekam medis: usia 15 tahun) “Oh, berapa hari?”
P: “Hmm … sekitar 2 mingguan, Dok. Enggak apa-apa itu, Dok?”
D: “Coba saya periksa dulu ya.” (dokter memeriksa pasien)
Beberapa menit kemudian.
D: “Silakan duduk, Dik. Biasa itu, Dik. Masih ABG soalnya, jadi hormon menstruasi belum stabil.”
P: “Hmm … kalo tes urin bisa enggak, Dok?”
D: “Loh, kenapa tes urin? Sudah menikah, belum?”
P: “Belum sih, Dok.”
D: “Ya sudah, ndak perlu. Tes urin ‘kan buat mengetahui hamil atau tidak, kecuali kamu berbuat ‘yang enggak-enggak’. Nih resepnya, minta di depan ya!”
Pasien keluar, berbincang dengan si pemuda. Kemudian masuk lagi ke ruang praktik.
P: “Dok, saya ingin tes urin.”
D: (menghela nafas) “Ya, boleh. Silakan minta sama karyawan saya tesnya.”
Beberapa menit kemudian.
P: “Ini, Dok. Hasilnya.”
D: “Garis 1, negatif.”
P: (tersenyum) “Terima kasih, Dok.”
Si pemudi keluar, berbincang, dan tertawa bersama si pemuda yang mengantarnya. Puaskah mereka dengan hasil urin tadi? Allahu a’lam.

# Perempuan ke-2
ABG (wanita) usia 18 tahun datang berobat sendirian.
D: “Silakan duduk, Dik. Ada keluhan apa?”
P: “Hmm … saya kalau kencing kok sakit, Dok? Terus, kok kayak ada cairannya? Kayak nanah gitu.”
D: (mengernyitkan dahi) “Ada nanahnya? Keputihan juga kayak gitu?” (mencoba meyakinkan pasien)
P: “Iya, Dok. Ada nanahnya.”
D: “Yuk, saya periksa.”
Dokter memeriksa pasien dengan teliti, khususnya pada keluhan utamanya.
D: “Sudah selesai. Duduk dulu, Dik. Hmm … maaf, Dik. Apa kamu pernah berhubungan sama laki-laki sebelumnya?”
P: (dengan wajah polos) “Iya, Dok.”
D: “Kapan?”
P: “Kira-kira sepuluh hari yang lalu.”
D: “Ya Allah … kok kamu mau sih, Dik?” (geleng-geleng kepala)
P: “Terus, kata pacar saya, ‘Kamu kena sipilis itu. Cepat berobat! Saya juga kena itu kata dokter di sini.'”
D: “Loh, pacarnya di mana sih?”
P: “Di Kalimantan, diusir orang tuanya karena enggak mau kuliah.”
D: “Aduh, Dik … Dik …. Kalau pacarmu terkena penyakit itu, berarti pacarmu itu pernah berhubungan sama wanita yang lain juga. Biasanya yang kena begituan PSK loh. Terus, apa enggak takut, Dik? Itu dosa besar loh, zina! Ini saya kasih obat, nanti kontrol lagi ya. Dan ingat, jangan melakukan hal itu lagi ya.”
P: (mengangguk-angguk)
Dua bulan kemudian si ABG datang lagi dengan seragam SMU-nya.
P: “Dok, hmm … kencing saya sakit lagi.”
D: “Loh, kok bisa? Kamu melakukan ‘itu’ lagi?”
P: (mengangguk-angguk) “Dan sekarang sakit sekali, Dok.”
D: “Ya Allah … kenapa sih, Dik? ‘Kan kemarin saya sudah memperingatkan, itu penyakit berbahaya loh, nanti bisa mengakibatkan kemandulan. Mau tanggung jawab enggak tuh nanti pacarmu? Kalau memang cinta sekali, nikah aja sekarang!”
P: “Pacar saya sudah janji, nanti kalau saya sudah lulus. Orang tua saya juga sudah mengizinkan.”
D: (geleng-geleng kepala) “Lah, walaupun sudah direstui, tetap enggak boleh ‘begitu’ loh, Dik. Ini parah sekali loh infeksinya. Ya udah, ini saya obati. Tapi kalau tetap enggak ada perubahan, saya sarankan ke dokter kulit dan kelamin langsung. Ingat-ingat loh, Dik, jangan terbujuk rayuan si pacar, tapi ingat-ingat itu dosa dan bisa berdampak buruk sama kesuburan. Sama masa depan kalian berdua juga insya Allah.”
Si ABG terdiam dengan raut wajah biasa, sepertinya cintanya sama si pacar memang mengalahkan argumen bu dokter.

# Perempuan ke-3
ABG usia 18 tahun datang didampingi ibunya.
Ibu: “Dok, ini anak saya lagi kerja di Jakarta, terus pulang karena sakit. Begini, Dok. Perutnya kok kelihatan besar, ya? Terus katanya kok ada yang gerak-gerak gitu. Anaknya jadi lemas, badannya enggak enak.”
D: “Hmm … haid terakhir kapan sih, Dik?”
P: “Hmm … kapan, ya? Lupa.”
D: “Silakan naik ke tempat periksa.”
Beberapa menit kemudian setelah selesai pemeriksaan
D: “Punya pacar enggak sih, Dik?”
P: “Punya.”
Ibu: “Pacarnya juga kerja di Jakarta, Dok.”
D: “Oh … ini bayi, Bu. Yang gerak-gerak itu bayi.”
Ibu: “Ya Allah …. Bayi?”
Ibu: “Kamu hamil?” (sambil mencolek anak perempuannya. Si ibu masih kelihatan tidak percaya)
P: (diam, kelihatan bingung)
D: “Sama siapa sih, Dik? Sama pacarnya itu?”
P: (mengangguk-angguk)
P: “Ya udah, ini saya kasih vitamin aja ya. Silakan tebus di depan.”
Sambil keluar dari kamar periksa, si ibu masih terus mencolek anaknya, “Kamu hamil? Kamu hamil?”

Subhanallah … miris sekali, bukan?
Remaja tidak kenal konsep pembuahan, apalagi mengenali bahwa mereka saat itu dalam keadaan hamil. Apakah mereka juga tidak paham bahwa perbuatan yang mereka lakukan adalah dosa besar? Dosa besar! Allahul musta’an.
Ini adalah PR besar kita sebagai orang tua, sebagaimana yang diperintahkan Allah,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلآئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادُُ لاَّيَعْصُونَ اللهَ مَآأَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَايُؤْمَرُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)
Kemudian sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanyai tentang kepemimpinannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim; hadits riwayat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu)
Semoga Allah melindungi anak-anak kita dari propaganda “kebebasan” yang kebablasan. Sedari dini kita tanamkan ilmu agama yang benar sesuai petunjuk Al-Quran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Saring dan bimbing mereka dalam menerima informasi dari berbagai media. Awasi selalu dengan siapa mereka bergaul, terutama anak-anak kita yang mulai menginjak usia remaja.
Kelak, kita akan berdiri di hadapan Allah untuk mempertanggungjawabkan didikan kita terhadap mereka.
Ya Allah, mudahkan kami pada hari hisab nanti. Bimbinglah kami dalam mendidik putra-putri kami dan mohon ampuni kami jika kami salah dalam mendidik mereka.
Semoga kelak kita dikumpulkan di surga bersama keluarga yang kita sayangi. Amin ….
**
You can leave a response, or trackback from your own site.