Showing posts with label Menikmati Kemolekan Tubuh Mbak Eva. Show all posts
Showing posts with label Menikmati Kemolekan Tubuh Mbak Eva. Show all posts
Monday, 29 February 2016
Menikmati Kemolekan Tubuh Mbak Eva, Seorang Janda Gersang Seksi
Sebelumnya saya perkenalkan diri
terlebih dahulu, nama saya Panji (samaran), usia saya saat ini adalah 37
tahun. Kejadian ini adalah kisah nyata hidup saya yang terjadi 10 tahun
yang lalu, jadi saat itu usia saya baru sekitar 27 tahun.
Sebelum saya ceritakan pengalaman saya
dengan Mbak Eva sang janda gersang, perlu saya sampaikan juga bahwa
(mungkin) saya mengidap suatu kelainan (meskipun mungkin kadarnya masih
sangat ringan), yaitu saya lebih tertarik dengan wanita yang usianya
sebaya dengan saya ataupun lebih tua, meskipun saya tidak terlalu
menolak dengan wanita yang usianya dibawah saya.
Hampir semua (tapi tidak 100 persen),
pacar-pacar saya ataupun teman-teman kencan saya biasanya memiliki usia
sebaya ataupun lebih tua. Tetapi istri saya saat ini memang lebih muda
dari saya 5 tahun.
Saya menyenangi wanita yang lebih tua,
karena saya merasa kalau bermain cinta dengan mereka, saya merasakan ada
sensasi tersendiri. Terlebih kalau teman kencan saya seorang janda
gersang, saya akan semakin menikmati permainan-permainannya dengan baik.
Saya mempunyai seorang tetangga, sekaligus kawan bermain, tetapi
usianya 3 tahun dibawah saya, sebut saja namanya Steven (tentunya juga
nama samaran).
Saya berkawan dan bersahabat dengan dia
sudah sejak kecil. Hubungan saya dengan Steven sudah seperti kakak
beradik. Kami saling bermain, saya ke rumahnya ataupun dia yang ke
rumahku. Makan dan terkadang tidur pun kami sering bersama. Steven ini
anak tertua dari 4 bersaudara. Ayahnya meninggal dunia ketika dia
berumur 15 tahun.
Steven ini mempunyai ibu, namanya Eva.
Meskipun Mbak Eva ini ibu dari teman dekat saya, tetapi saya
memanggilnya tetap dengan panggilan mbak, bukan tante (saya tidak tahu
kenapa memanggilnya mbak, mungkin saya ikut-ikutan ibu saya). Karena
saya sudah terbiasa bergaul dengan keluarga Mbak Eva, maka Mbak Eva
menganggap saya sudah seperti anaknya sendiri. Sehingga Mbak Eva tidak
merasa malu untuk bertingkah wajar di hadapanku, terutama sekali dia
sudah terbiasa berpakaian minim, meskipun saya ada di depannya.
Apabila selesai mandi, dan keluar dari
kamar mandi, Mbak Eva tanpa malu-malu jalan di hadapan saya hanya dengan
melilitkan handuk di tubuhnya. Sehingga dengan jelas sekali terlihat
kemolekan tubuhnya. Warna kulitnya yang kuning bersih, dengan bentuk
pantat yang bulat dan sintal, serta sepasang lengan yang indah dengan
bebasnya dapat dipandangi, meskipun saya pada saat itu masih SD ataupun
SMP, tetapi secara naluri, saya sudah ingin juga melihat kemolekan tubuh
Mbak Eva.
Hubungan dengan Steven tetap baik,
meskipun saya sudah pindah rumah (meskipun dalam satu kota) dan meskipun
saya sudah kuliah ke lain kota, hubungan saya dengan keluarga Mbak Eva
juga tetap tidak berubah. Kalau saya pulang ke rumah sebulan sekali,
saya selalu sempatkan main ke rumah Steven.
Setelah kematian suaminya, Mbak Eva
selama kurang lebih 8 tahun tetap menjanda, dan akhirnya menjadi janda
gersang. Meskipun sebenarnya banyak laki-laki yang tertarik padanya,
karena Mbak Eva ini orangnya cantik, seksi, kulitnya kuning, bicaranya
ramah dan supel. Penampilannya selalu nampak bersih (selalu bermake-up
setiap saat). Tetapi semuanya ditolak, karena alasan Mbak Eva pada saat
itu katanya lebih berkonsentrasi untuk dia dalam mengasuh anak-anaknya.
Tetapi setelah 8 tahun janda gersang,
akhirnya dia menikah dengan seorang duda tua yang meskipun kaya raya
tetapi sakit-sakitan (Mbak Eva mau menikah dengan dia karena alasan
ekonomi). Tetapi perkawinan ini hanya bertahan kurang lebih 2 tahun,
karena suaminya yang baru ini akhirnya juga meninggal.
Setelah saya Dewasa, rasa tertarik saya
dengan Mbak Eva semakin menggebu. Tubuh yang seksi, pantat yang padat,
dan betis yang kecil serta indah selalu menjadi sasaran mata saya.
Terkadang saya sering mencuri pandang dengan Mbak Eva, pada saat ngobrol
dengan Steven dankebetulan Mbak Eva lewat. Apalagi kalau sedang ngobrol
dengan Steven dan Mbak Eva ikut, wah rasanya jadi senang sekali. Bahkan
sering saya sengaja main ke rumah Steven, dimana pada saat Steven tidak
ada di rumah, sehingga saya dengan leluasa dapat ngobrol berdua dengan
Mbak Eva.
Meskipun keinginan untuk bercinta dengan
Mbak Eva selalu menggebu, tetapi saya masih kesulitan untuk mencari
cara memulainya. Terkadang rasa ragu dan malu selalu menghantui, takut
kalau nanti Mbak Eva menolak untuk diajak bercinta. Tetapi kalau kemauan
sudah kuat, segala cara akan ditempuh demi tercapainya keinginan.
Hal ini terjadi secara kebetulan, ketika
suatu sore MBak Eva minta tolong saya untuk mengantarkan melihat
komplek perumahan yang baru di pinggiran kota, karena dia bermaksud
membeli rumah kecil di komplek perumahan tersebut.
Kami berdua berangkat dengan memakai
mobil saya. Karena lokasinya masih baru dan masih dalam tahap
pembangunan, sehingga sesampainya di lokasi, suasananya terlihat sepi,
tidak ada seorang pun di tempat itu. Kami berdua berkeliling-keliling
dengan berjalan kaki melihat-lihat rumah-rumah yang baru dibangun. Saya
ajak Mbak Eva masuk ke salah satu rumah yang sedang dibangun, yang
tentunya masih kosong, kami melihat-lihat ke dalamnya.
Kami berjalan berdampingan, dan setelah
masuk ke salah satu rumah yang sedang dibangun. Dengan tiba-tiba saya
dekap pundaknya, saya rekatkan ke dada saya, perasaan saya pada saat itu
tidak menentu, antara senang, takut kalau-kalau dia marah dan menampar
saya, dan perasaan birahi yang sudah sangat menggebu.
Tetapi syukur, ternyata dia hanya
tersenyum memandang saya. Melihat tidak ada penolakan yang berarti, saya
mulai berani untuk mencium pipinya, lagi-lagi dia hanya tersenyum malu
sambil pura-pura menjauhkan diri dan sambil berkata, “Ach.. Panji ini
ada-ada saja..”
Saya berkata, “Mbak Eva marah yaa..?”
Dia hanya menjawab dengan gelengan kepala dan sambil tersenyum terus menundukkan kepala.
Melihat bahasa tubuh yang menunjukkan
“lampu Hijau”, serangan saya semakin berani. Saya mengejarnya dan
mendekapnya, dan akhirnya saya berhasil mencium bibirnya yang tipis,
mungil dan berkilat oleh lipstick yang selalu menghiasi bibirnya. Sambil
saya bersandar di dinding, saya dekap dengan erat tubuh Mbak Eva.
Saya cium bibirnya, “Uhhmm..” dia bergumam dan balas memeluk dengan erat.
Ternyata tanpa diduga, Mbak Eva membalas
ciuman saya dengan bergairah. Saya kembali balas ciumannya yang sangat
bergairah dengan permainan lidah saya. Lidah kami sudah menari-nari.
Kedua tangan saya sudah mencari sasaran-sasaran yang sensitif. Bukit
kembarnya yang mungil tapi masih padat dan terlihat seksi menjadi
sasaran kedua tangan saya.
Kedua bukit kembar ini sudah lama
kuidam-idamkan untuk menjamahnya. Kami berciuman agak lama. Nafas Mbak
Eva semakin memburu. Ciuman, saya alihkan dari bibirnya yang mungil
turun ke lehernya. Dia menengadahkan wajahnya sambil matanya terpejam.
Menikmati rangsangan kenikmatan yang sudah lama tidak dia rasakan.
“Uchmm.. mm..” mulutnya selalu bergumam, tandanya dia menikmatinya.
Kedua tanganku saya dekapkan ke
pantatnya yang bulat dan seksi. Sehingga tubuhnya semakin marapat ke
tubuh saya. Dekapan kedua tangannya ke leher saya semakin diperkuat,
seiring dengan lenguhan bibirnya yang semakin panjang, “Uuucchmm.. mm.”
Batang kejantanan yang tegang sejak
berangkat dari rumahnya Mbak Eva, kini ditekan dengan kencang oleh tubuh
Mbak Eva yang bergoyang-goyang. Rasa nikmat menjalar dari batang
kejantananku mengalir naik ke ubun-ubun. Ciumanku terus turun setelah
beberapa lama singgah di lehernya, turun menuruni celah bukit kembarnya.
Kedua BH-nya yang berwarna merah muda, serasi dengan kulitnya yang
langsat, semakin menambah indahnya susu Mbak Eva.
Karena tubuh Mbak Eva agak kecil, saya
agak sedikit berjongkok, agar mampu mencium kedua susunya yang sudah
mengeras. Kedua tangan saya pergunakan untuk menahan punggungnya yang
mulai melengkung atas sensasi ciuman saya ke susunya. Deru nafas Mbak
Eva semakin memburu.
Gesekan tubuhnya ke batang keperkasaan
saya semakin cepat frekuensinya, dan akhirnya, “Udach acch Panjii..
jangan disini, nggak enak kalau nanti ketahuan..” sambil berusaha
melepaskan tubuhnya dari dekapan saya.
“Sebentar Mmmbbak..!” jawab saya dengan mulut tidak bergeser dari susunya.
“Panji, nanti kita lannjuttkan saja di llain ttemmpat..” suranya terputus-putus karena tersengal oleh nafasnya yang memburu.
“Oke dech Mbak Eva, tapi Mbak Eva harus
janji dulu, kapan dilanjutkannya dan dimana..?” tanyaku sambil masih
mendekap dengan erat tubuh Mbak Eva.
“Besok pagi saja di rumahku jam sepuluh. Karena kalau pagi rumahku sepi.”
“Oke dech, besok pagi jam sepuluh saya datang lagi.”
“Yuk kita pulang, anter aku dulu ke rumah, anak nakaall..!” pinta Mbak Eva manja sambil mencubit hidungku.
“Aku antar ke rumah, tapi kasih dulu
uang muka untuk besok pagi.” sambil mengarahkan ciuman saya ke bibirnya
sekali lagi sebagai uang muka untuk besok pagi.
Dia belum sempat tersenyum karena bibirnya sudah kukulum dengan mesranya.
Hari mulai gelap dan gerimis mengiringi
kepulangan kami. Kami berjalan pulang ke rumah Mbak Eva, tetapi suasana
dalam perjalanan pulang sudah jauh berbeda dengan suasana ketika kami
berangkat tadi. Karena ketika kami berangkat tadi, perilaku kami sebagai
seorang tante dengan “keponakannya”, tapi sekarang sudah berubah
menjadi perjalanan seorang tante dengan “keenakannya”.
Selama perjalanan, Mbak Eva menggoda
saya, “Waduh.., ternyata selama ini saya salah, saya kirain Panji itu
orangnya alim, tapi ternyata..”
“Ternyata enak khan..?” goda saya sambil mencubit dagunya yang menggemaskan. Kami berdua tertawa berderai.
“Kalau tahu gitu, mending dari dulu yaa..?” kata Mbak Eva menggoda.
“Iya kalau dari dulu, memek Mbak Eva mungkin tidak karatan ya..?” balasku menggoda.
“Emangnya besi tua..!” jawab Mbak Eva bersungut.
“Bukan besi tua, tapi besi pusaka.” jawab saya.
Selama perjalanan, tangan Mbak Eva tidak
henti-hentinya selalu meremas tangan saya yang sebelah kiri (sebelah
kanan untuk pegang setir). Tangan saya baru dilepaskan ketika saya
pergunakan untuk pindah gigi saja. Selebihnya selalu dipegang dan
diremas-remas oleh Mbak Eva.
“Mbak.., jangan tanganku aja donk yang diremas-remas..!” pinta saya dengan manja.
“Lha yang mana lagi yang minta diremas..?”
“Ya yang nggak ada tulangnya donk yang diremas.”
“Dasar anak nakal.” Mbak Eva tersenyum, tapi tangannya beralih untuk meremas rudal yang masih tegang belum tersalurkan.
Ternyata Mbak Eva tidak hanya meremas rudal saya saja, melainkan juga menciuminya.
“Mbak.., bebas aja lho Mbak, jangan sungkan-sungkan, anggap aja milik sendiri.” goda saya sambil tersenyum.
“Terus minta diapakan lagi..?” pancing Mbak Eva.
“Yaa.., kalau mau dikulum juga boleh.” jawab saya.
“Emangnya nggak kelihatan orang..?” tanyanya ragu.
“Khan udah malem, lagian hujan, pasti nggak kelihatan.”
Tanpa menunggu jawaban, tangan Mbak Eva
sudah mulai membuka resluiting celana dan mengeluarkan rudal saya. Saya
geser kursi saya agak ke belakang, agar Mbak Eva dapat leluasa
mempermainkan rudal indah milik saya. Dirabanya rudal itu dan
diciuminya, akhirnya bibirnya yang mungil mengulum dan menjilatinya.
Terasa mendapat aliran listrik yang menggetarkan ketika lidah Mbak Eva
menjilati kepala rudal saya.
Dan terasa hangat dan basah ketika
mulutnya mengulum batang kejantanan saya yang semakin menegang. Dua
perasaan yang penuh sensasi berganti-ganti saya rasakan. Antara getaran
karena jilatan lidah dan hangatnya kuluman saling berganti. Kedua kaki
terasa tegang, dan pantat saya tidak terasa terangkat karena sensasi
yang ditimbulkan oleh kuluman bibir Mbak Eva yang ternyata sangat ahli
Untuk menghindari konsentrasi yang
terpecah, terpaksa saya meminggirkan mobil ke jalur lambat, dan
memberhentikan mobil. Keadaan sangat mendukung, karena pada saat itu
tepat dengan turunnya hujan, dan lalu lintas kendaraan agak sepi,
sehingga kami berdua tidak merasa terganggu untuk melanjutkan permainan
di dalam mobil.
Mbak Eva mengulum kemaluan saya dengan
semangat. Kepalanya terlihat turun naik-turun naik yang terkadang cepat,
terkadang lambat. Mulutnya terus bergumam, sebagai tanda bahwa dia juga
menikmatinya. Kedua tangan saya memegang kepala Mbak Eva naik-turun
mengikuti gerakannya. Kaki semakin kejang dengan pantat saya yang naik
turun akibat rasa sensasi yang luar biasa. Untuk mengimbangi
permainannya, pantat Mbak Eva yang terlihat nungging, saya remas dengan
tangan kiri, sementara tangan kanan masih membelai susu Mbak Eva, saya
remas dengan pelan kedua susunya bergantian dengan tangan kanan.
Resluiting rok bawahnya yang ada di
pantat, mulai saya buka, terlihat CD-nya yang berwarna merah muda. Saya
masukkan tangan kiri ke dalam CD-nya dan meremas dengan gemas pantatnya
yang padat berisi. Tangan saya bergerak turun menelusuri celah
pantatnya, dan sekarang menuju liang kemaluannya. Kemaluannya saya
sentuh dari belakang, dan terasa sudah sangat basah dan merekah.
Saya belai-belai bibir luar
kewanitaannya dan akhirnya saya belai-belai klitnya. Merasa klitnya
tersentuh oleh jari saya, pantat Mbak Eva semakin dinaikkan, dan terasa
tegang, kuluman ke batang kejantanan saya semakin kencang. Tangan kanan
saya masih meremas-remas susunya yang semakin tegak. Melihat perpaduan
antara belaian klitoris, remasan susu dan kuluman rudal, suara kami jadi
semakin maracau.
Pantat kami semakin naik turun. Erangan
kenikmatan dan sensasi aliran listrik menjalar ke sekujur tubuh kami.
Tiba-tiba Mbak Eva melepaskan kulumannya. Dia kembali ke posisi duduk
dan telentang sambil matanya tetap terpejam oleh kenikmatan yang sudah
bertahun-tahun tidak dirasakan. Saya tahu maksudnya, bahwa dia minta
gantian agar kewanitaannya dijilati.
Saya singkapkan roknya, dan Mbak Eva
dengan tergesa-gesa melepaskan sendiri CD-nya, seakan tidak sabar dan
tidak ingin ada waktu luang yang terputus. Kedua kakinya sudah
ditelentangkan, kemaluannya yang mungil dengan bulu-bulu halus dan
terawat sudah kelihatan merekah. Saya dekatkan mulut saya ke liang
senggamanya, tetapi saya baru akan menjilati kedua selangkangannya
terlebih dahulu.
Dia meremas-remas rambut saya. Kedua
kakinya mengejang-ngejang dan bergerak-gerak tidak terkontrol. Pantatnya
digerak-gerakkan naik turun. Ini artinya Mbak Eva sudah sangat
penasaran dan sangat gemas agar kemaluannya ingin dijilati. Dia
kelihatan penasaran sekali. Saya jilati bibir kemaluannya.
Harumnya yang khas kemaluan wanita
semakin merangsang saya. Remasan-remasan di kepala saya semakin kuat.
Akhirnya saya buka bibir kemaluannya, saya jilati klitorisnya. Ketika
lidah saya menyentuh klitorisnya, nafas lega dan erangan kenikmatan
keluar dari mulutnya.
“Uuuhh.. uhh.. uughh..!” terus menerus keluar dari mulutnya.
Kepalanya selalu bergoyang-goyang ke
kanan dan ke kiri. Remasan remasan tangan kirinya sekarang beralih ke
punggung saya, sedangkan tangan kanannya berusaha mencari batang
keperkasaan saya dan akhirnya meremas-remas dan mengocoknya. Tangan yang
lembut dengan kocokan dan remasan yang halus, memijat-mijat batang
kejantanan saya, memberikan sensasi tersendiri pada rudal kebanggaan
milik saya.
Lidah saya berputar-putar di
klitorisnya, usapan-usapan lidah di dinding vagina, terkadang saya
selingi dengan isapan dan gigitan halus di klitorisnya, membuat dia
semakin marancu, “Uuugghh.. geellii banggeett..! Uuuff.., ggellii
bannget..! Uuff ggllii..”
Dan secara tiba-tiba kedua tangannya
mencakar punggung saya, kedua kakinya menegang, dadanya membusung naik
diikuti dengan getaran tubuh yang hebat sambil mengerang, “Uuugghhff
Aaallvii.., uuff aku mmauu kkeelluua.. aarr..”
Nafasnya tersengal dan memburu, tandanya dia sudah sampai di puncak kenikmatan seorang wanita.
“Aaallvii.., kamu belum yaa..? Sini kukulum biar cepet nyampai.” suara Mbak Eva sambil nafasnya masih memburu.
Dia membungkuk di pangkuan saya, saya
telentang di jok. Dia kembali mengulum batang kejantanan saya. Bibir
yang manis dan mungil kembali mengocok-ngocok rudal saya. Lidahnya
dengan lembut menyapu kepala kemaluan saya. Sensasi yang tadi sempat
terputus, kembali dapat saya rasakan. Kaki saya menegang, pantatku
terangkat, tangan saya meremas-remas kedua pipinya.
Aliran listrik menjalar dari kepala
kejantanan saya, naik ke ubun-ubun dan sekujur tubuh. Aliran tersebut
kembali lagi bersama-sama mengarah ke ujung rudal saya, ke kepala
kemaluan saya, dan akhirnya keluar bersama-sama dengan cairan putih dan
kental ke mulut Mbak Eva, ke bibir Mbak Eva, ke hidungnya dan ke
pipinya, banyak sekali.
Seakan-akan habis sudah cairan yang ada
di tubuh ini, lemas kedua tubuh kami. Untuk sejenak kami berdua berdiam
diri, untuk menikmati sensasi kami, untuk mengatur nafas kami dan untuk
menenangkan emosi kami.
Showing posts with label Menikmati Kemolekan Tubuh Mbak Eva. Show all posts
Showing posts with label Menikmati Kemolekan Tubuh Mbak Eva. Show all posts
Menikmati Kemolekan Tubuh Mbak Eva, Seorang Janda Gersang Seksi
Kemolekan Tubuh Mbak Eva, Seorang Janda Gersang Seksi
Sebelumnya saya perkenalkan diri
terlebih dahulu, nama saya Panji (samaran), usia saya saat ini adalah 37
tahun. Kejadian ini adalah kisah nyata hidup saya yang terjadi 10 tahun
yang lalu, jadi saat itu usia saya baru sekitar 27 tahun.
Sebelum saya ceritakan pengalaman saya
dengan Mbak Eva sang janda gersang, perlu saya sampaikan juga bahwa
(mungkin) saya mengidap suatu kelainan (meskipun mungkin kadarnya masih
sangat ringan), yaitu saya lebih tertarik dengan wanita yang usianya
sebaya dengan saya ataupun lebih tua, meskipun saya tidak terlalu
menolak dengan wanita yang usianya dibawah saya.
Hampir semua (tapi tidak 100 persen),
pacar-pacar saya ataupun teman-teman kencan saya biasanya memiliki usia
sebaya ataupun lebih tua. Tetapi istri saya saat ini memang lebih muda
dari saya 5 tahun.
Saya menyenangi wanita yang lebih tua,
karena saya merasa kalau bermain cinta dengan mereka, saya merasakan ada
sensasi tersendiri. Terlebih kalau teman kencan saya seorang janda
gersang, saya akan semakin menikmati permainan-permainannya dengan baik.
Saya mempunyai seorang tetangga, sekaligus kawan bermain, tetapi
usianya 3 tahun dibawah saya, sebut saja namanya Steven (tentunya juga
nama samaran).
Saya berkawan dan bersahabat dengan dia
sudah sejak kecil. Hubungan saya dengan Steven sudah seperti kakak
beradik. Kami saling bermain, saya ke rumahnya ataupun dia yang ke
rumahku. Makan dan terkadang tidur pun kami sering bersama. Steven ini
anak tertua dari 4 bersaudara. Ayahnya meninggal dunia ketika dia
berumur 15 tahun.
Steven ini mempunyai ibu, namanya Eva.
Meskipun Mbak Eva ini ibu dari teman dekat saya, tetapi saya
memanggilnya tetap dengan panggilan mbak, bukan tante (saya tidak tahu
kenapa memanggilnya mbak, mungkin saya ikut-ikutan ibu saya). Karena
saya sudah terbiasa bergaul dengan keluarga Mbak Eva, maka Mbak Eva
menganggap saya sudah seperti anaknya sendiri. Sehingga Mbak Eva tidak
merasa malu untuk bertingkah wajar di hadapanku, terutama sekali dia
sudah terbiasa berpakaian minim, meskipun saya ada di depannya.
Apabila selesai mandi, dan keluar dari
kamar mandi, Mbak Eva tanpa malu-malu jalan di hadapan saya hanya dengan
melilitkan handuk di tubuhnya. Sehingga dengan jelas sekali terlihat
kemolekan tubuhnya. Warna kulitnya yang kuning bersih, dengan bentuk
pantat yang bulat dan sintal, serta sepasang lengan yang indah dengan
bebasnya dapat dipandangi, meskipun saya pada saat itu masih SD ataupun
SMP, tetapi secara naluri, saya sudah ingin juga melihat kemolekan tubuh
Mbak Eva.
Hubungan dengan Steven tetap baik,
meskipun saya sudah pindah rumah (meskipun dalam satu kota) dan meskipun
saya sudah kuliah ke lain kota, hubungan saya dengan keluarga Mbak Eva
juga tetap tidak berubah. Kalau saya pulang ke rumah sebulan sekali,
saya selalu sempatkan main ke rumah Steven.
Setelah kematian suaminya, Mbak Eva
selama kurang lebih 8 tahun tetap menjanda, dan akhirnya menjadi janda
gersang. Meskipun sebenarnya banyak laki-laki yang tertarik padanya,
karena Mbak Eva ini orangnya cantik, seksi, kulitnya kuning, bicaranya
ramah dan supel. Penampilannya selalu nampak bersih (selalu bermake-up
setiap saat). Tetapi semuanya ditolak, karena alasan Mbak Eva pada saat
itu katanya lebih berkonsentrasi untuk dia dalam mengasuh anak-anaknya.
Tetapi setelah 8 tahun janda gersang,
akhirnya dia menikah dengan seorang duda tua yang meskipun kaya raya
tetapi sakit-sakitan (Mbak Eva mau menikah dengan dia karena alasan
ekonomi). Tetapi perkawinan ini hanya bertahan kurang lebih 2 tahun,
karena suaminya yang baru ini akhirnya juga meninggal.
Setelah saya Dewasa, rasa tertarik saya
dengan Mbak Eva semakin menggebu. Tubuh yang seksi, pantat yang padat,
dan betis yang kecil serta indah selalu menjadi sasaran mata saya.
Terkadang saya sering mencuri pandang dengan Mbak Eva, pada saat ngobrol
dengan Steven dankebetulan Mbak Eva lewat. Apalagi kalau sedang ngobrol
dengan Steven dan Mbak Eva ikut, wah rasanya jadi senang sekali. Bahkan
sering saya sengaja main ke rumah Steven, dimana pada saat Steven tidak
ada di rumah, sehingga saya dengan leluasa dapat ngobrol berdua dengan
Mbak Eva.
Meskipun keinginan untuk bercinta dengan
Mbak Eva selalu menggebu, tetapi saya masih kesulitan untuk mencari
cara memulainya. Terkadang rasa ragu dan malu selalu menghantui, takut
kalau nanti Mbak Eva menolak untuk diajak bercinta. Tetapi kalau kemauan
sudah kuat, segala cara akan ditempuh demi tercapainya keinginan.
Hal ini terjadi secara kebetulan, ketika
suatu sore MBak Eva minta tolong saya untuk mengantarkan melihat
komplek perumahan yang baru di pinggiran kota, karena dia bermaksud
membeli rumah kecil di komplek perumahan tersebut.
Kami berdua berangkat dengan memakai
mobil saya. Karena lokasinya masih baru dan masih dalam tahap
pembangunan, sehingga sesampainya di lokasi, suasananya terlihat sepi,
tidak ada seorang pun di tempat itu. Kami berdua berkeliling-keliling
dengan berjalan kaki melihat-lihat rumah-rumah yang baru dibangun. Saya
ajak Mbak Eva masuk ke salah satu rumah yang sedang dibangun, yang
tentunya masih kosong, kami melihat-lihat ke dalamnya.
Kami berjalan berdampingan, dan setelah
masuk ke salah satu rumah yang sedang dibangun. Dengan tiba-tiba saya
dekap pundaknya, saya rekatkan ke dada saya, perasaan saya pada saat itu
tidak menentu, antara senang, takut kalau-kalau dia marah dan menampar
saya, dan perasaan birahi yang sudah sangat menggebu.
Tetapi syukur, ternyata dia hanya
tersenyum memandang saya. Melihat tidak ada penolakan yang berarti, saya
mulai berani untuk mencium pipinya, lagi-lagi dia hanya tersenyum malu
sambil pura-pura menjauhkan diri dan sambil berkata, “Ach.. Panji ini
ada-ada saja..”
Saya berkata, “Mbak Eva marah yaa..?”
Dia hanya menjawab dengan gelengan kepala dan sambil tersenyum terus menundukkan kepala.
Melihat bahasa tubuh yang menunjukkan
“lampu Hijau”, serangan saya semakin berani. Saya mengejarnya dan
mendekapnya, dan akhirnya saya berhasil mencium bibirnya yang tipis,
mungil dan berkilat oleh lipstick yang selalu menghiasi bibirnya. Sambil
saya bersandar di dinding, saya dekap dengan erat tubuh Mbak Eva.
Saya cium bibirnya, “Uhhmm..” dia bergumam dan balas memeluk dengan erat.
Ternyata tanpa diduga, Mbak Eva membalas
ciuman saya dengan bergairah. Saya kembali balas ciumannya yang sangat
bergairah dengan permainan lidah saya. Lidah kami sudah menari-nari.
Kedua tangan saya sudah mencari sasaran-sasaran yang sensitif. Bukit
kembarnya yang mungil tapi masih padat dan terlihat seksi menjadi
sasaran kedua tangan saya.
Kedua bukit kembar ini sudah lama
kuidam-idamkan untuk menjamahnya. Kami berciuman agak lama. Nafas Mbak
Eva semakin memburu. Ciuman, saya alihkan dari bibirnya yang mungil
turun ke lehernya. Dia menengadahkan wajahnya sambil matanya terpejam.
Menikmati rangsangan kenikmatan yang sudah lama tidak dia rasakan.
“Uchmm.. mm..” mulutnya selalu bergumam, tandanya dia menikmatinya.
Kedua tanganku saya dekapkan ke
pantatnya yang bulat dan seksi. Sehingga tubuhnya semakin marapat ke
tubuh saya. Dekapan kedua tangannya ke leher saya semakin diperkuat,
seiring dengan lenguhan bibirnya yang semakin panjang, “Uuucchmm.. mm.”
Batang kejantanan yang tegang sejak
berangkat dari rumahnya Mbak Eva, kini ditekan dengan kencang oleh tubuh
Mbak Eva yang bergoyang-goyang. Rasa nikmat menjalar dari batang
kejantananku mengalir naik ke ubun-ubun. Ciumanku terus turun setelah
beberapa lama singgah di lehernya, turun menuruni celah bukit kembarnya.
Kedua BH-nya yang berwarna merah muda, serasi dengan kulitnya yang
langsat, semakin menambah indahnya susu Mbak Eva.
Karena tubuh Mbak Eva agak kecil, saya
agak sedikit berjongkok, agar mampu mencium kedua susunya yang sudah
mengeras. Kedua tangan saya pergunakan untuk menahan punggungnya yang
mulai melengkung atas sensasi ciuman saya ke susunya. Deru nafas Mbak
Eva semakin memburu.
Gesekan tubuhnya ke batang keperkasaan
saya semakin cepat frekuensinya, dan akhirnya, “Udach acch Panjii..
jangan disini, nggak enak kalau nanti ketahuan..” sambil berusaha
melepaskan tubuhnya dari dekapan saya.
“Sebentar Mmmbbak..!” jawab saya dengan mulut tidak bergeser dari susunya.
“Panji, nanti kita lannjuttkan saja di llain ttemmpat..” suranya terputus-putus karena tersengal oleh nafasnya yang memburu.
“Oke dech Mbak Eva, tapi Mbak Eva harus
janji dulu, kapan dilanjutkannya dan dimana..?” tanyaku sambil masih
mendekap dengan erat tubuh Mbak Eva.
“Besok pagi saja di rumahku jam sepuluh. Karena kalau pagi rumahku sepi.”
“Oke dech, besok pagi jam sepuluh saya datang lagi.”
“Yuk kita pulang, anter aku dulu ke rumah, anak nakaall..!” pinta Mbak Eva manja sambil mencubit hidungku.
“Aku antar ke rumah, tapi kasih dulu
uang muka untuk besok pagi.” sambil mengarahkan ciuman saya ke bibirnya
sekali lagi sebagai uang muka untuk besok pagi.
Dia belum sempat tersenyum karena bibirnya sudah kukulum dengan mesranya.
Hari mulai gelap dan gerimis mengiringi
kepulangan kami. Kami berjalan pulang ke rumah Mbak Eva, tetapi suasana
dalam perjalanan pulang sudah jauh berbeda dengan suasana ketika kami
berangkat tadi. Karena ketika kami berangkat tadi, perilaku kami sebagai
seorang tante dengan “keponakannya”, tapi sekarang sudah berubah
menjadi perjalanan seorang tante dengan “keenakannya”.
Selama perjalanan, Mbak Eva menggoda
saya, “Waduh.., ternyata selama ini saya salah, saya kirain Panji itu
orangnya alim, tapi ternyata..”
“Ternyata enak khan..?” goda saya sambil mencubit dagunya yang menggemaskan. Kami berdua tertawa berderai.
“Kalau tahu gitu, mending dari dulu yaa..?” kata Mbak Eva menggoda.
“Iya kalau dari dulu, memek Mbak Eva mungkin tidak karatan ya..?” balasku menggoda.
“Emangnya besi tua..!” jawab Mbak Eva bersungut.
“Bukan besi tua, tapi besi pusaka.” jawab saya.
Selama perjalanan, tangan Mbak Eva tidak
henti-hentinya selalu meremas tangan saya yang sebelah kiri (sebelah
kanan untuk pegang setir). Tangan saya baru dilepaskan ketika saya
pergunakan untuk pindah gigi saja. Selebihnya selalu dipegang dan
diremas-remas oleh Mbak Eva.
“Mbak.., jangan tanganku aja donk yang diremas-remas..!” pinta saya dengan manja.
“Lha yang mana lagi yang minta diremas..?”
“Ya yang nggak ada tulangnya donk yang diremas.”
“Dasar anak nakal.” Mbak Eva tersenyum, tapi tangannya beralih untuk meremas rudal yang masih tegang belum tersalurkan.
Ternyata Mbak Eva tidak hanya meremas rudal saya saja, melainkan juga menciuminya.
“Mbak.., bebas aja lho Mbak, jangan sungkan-sungkan, anggap aja milik sendiri.” goda saya sambil tersenyum.
“Terus minta diapakan lagi..?” pancing Mbak Eva.
“Yaa.., kalau mau dikulum juga boleh.” jawab saya.
“Emangnya nggak kelihatan orang..?” tanyanya ragu.
“Khan udah malem, lagian hujan, pasti nggak kelihatan.”
Tanpa menunggu jawaban, tangan Mbak Eva
sudah mulai membuka resluiting celana dan mengeluarkan rudal saya. Saya
geser kursi saya agak ke belakang, agar Mbak Eva dapat leluasa
mempermainkan rudal indah milik saya. Dirabanya rudal itu dan
diciuminya, akhirnya bibirnya yang mungil mengulum dan menjilatinya.
Terasa mendapat aliran listrik yang menggetarkan ketika lidah Mbak Eva
menjilati kepala rudal saya.
Dan terasa hangat dan basah ketika
mulutnya mengulum batang kejantanan saya yang semakin menegang. Dua
perasaan yang penuh sensasi berganti-ganti saya rasakan. Antara getaran
karena jilatan lidah dan hangatnya kuluman saling berganti. Kedua kaki
terasa tegang, dan pantat saya tidak terasa terangkat karena sensasi
yang ditimbulkan oleh kuluman bibir Mbak Eva yang ternyata sangat ahli
Untuk menghindari konsentrasi yang
terpecah, terpaksa saya meminggirkan mobil ke jalur lambat, dan
memberhentikan mobil. Keadaan sangat mendukung, karena pada saat itu
tepat dengan turunnya hujan, dan lalu lintas kendaraan agak sepi,
sehingga kami berdua tidak merasa terganggu untuk melanjutkan permainan
di dalam mobil.
Mbak Eva mengulum kemaluan saya dengan
semangat. Kepalanya terlihat turun naik-turun naik yang terkadang cepat,
terkadang lambat. Mulutnya terus bergumam, sebagai tanda bahwa dia juga
menikmatinya. Kedua tangan saya memegang kepala Mbak Eva naik-turun
mengikuti gerakannya. Kaki semakin kejang dengan pantat saya yang naik
turun akibat rasa sensasi yang luar biasa. Untuk mengimbangi
permainannya, pantat Mbak Eva yang terlihat nungging, saya remas dengan
tangan kiri, sementara tangan kanan masih membelai susu Mbak Eva, saya
remas dengan pelan kedua susunya bergantian dengan tangan kanan.
Resluiting rok bawahnya yang ada di
pantat, mulai saya buka, terlihat CD-nya yang berwarna merah muda. Saya
masukkan tangan kiri ke dalam CD-nya dan meremas dengan gemas pantatnya
yang padat berisi. Tangan saya bergerak turun menelusuri celah
pantatnya, dan sekarang menuju liang kemaluannya. Kemaluannya saya
sentuh dari belakang, dan terasa sudah sangat basah dan merekah.
Saya belai-belai bibir luar
kewanitaannya dan akhirnya saya belai-belai klitnya. Merasa klitnya
tersentuh oleh jari saya, pantat Mbak Eva semakin dinaikkan, dan terasa
tegang, kuluman ke batang kejantanan saya semakin kencang. Tangan kanan
saya masih meremas-remas susunya yang semakin tegak. Melihat perpaduan
antara belaian klitoris, remasan susu dan kuluman rudal, suara kami jadi
semakin maracau.
Pantat kami semakin naik turun. Erangan
kenikmatan dan sensasi aliran listrik menjalar ke sekujur tubuh kami.
Tiba-tiba Mbak Eva melepaskan kulumannya. Dia kembali ke posisi duduk
dan telentang sambil matanya tetap terpejam oleh kenikmatan yang sudah
bertahun-tahun tidak dirasakan. Saya tahu maksudnya, bahwa dia minta
gantian agar kewanitaannya dijilati.
Saya singkapkan roknya, dan Mbak Eva
dengan tergesa-gesa melepaskan sendiri CD-nya, seakan tidak sabar dan
tidak ingin ada waktu luang yang terputus. Kedua kakinya sudah
ditelentangkan, kemaluannya yang mungil dengan bulu-bulu halus dan
terawat sudah kelihatan merekah. Saya dekatkan mulut saya ke liang
senggamanya, tetapi saya baru akan menjilati kedua selangkangannya
terlebih dahulu.
Dia meremas-remas rambut saya. Kedua
kakinya mengejang-ngejang dan bergerak-gerak tidak terkontrol. Pantatnya
digerak-gerakkan naik turun. Ini artinya Mbak Eva sudah sangat
penasaran dan sangat gemas agar kemaluannya ingin dijilati. Dia
kelihatan penasaran sekali. Saya jilati bibir kemaluannya.
Harumnya yang khas kemaluan wanita
semakin merangsang saya. Remasan-remasan di kepala saya semakin kuat.
Akhirnya saya buka bibir kemaluannya, saya jilati klitorisnya. Ketika
lidah saya menyentuh klitorisnya, nafas lega dan erangan kenikmatan
keluar dari mulutnya.
“Uuuhh.. uhh.. uughh..!” terus menerus keluar dari mulutnya.
Kepalanya selalu bergoyang-goyang ke
kanan dan ke kiri. Remasan remasan tangan kirinya sekarang beralih ke
punggung saya, sedangkan tangan kanannya berusaha mencari batang
keperkasaan saya dan akhirnya meremas-remas dan mengocoknya. Tangan yang
lembut dengan kocokan dan remasan yang halus, memijat-mijat batang
kejantanan saya, memberikan sensasi tersendiri pada rudal kebanggaan
milik saya.
Lidah saya berputar-putar di
klitorisnya, usapan-usapan lidah di dinding vagina, terkadang saya
selingi dengan isapan dan gigitan halus di klitorisnya, membuat dia
semakin marancu, “Uuugghh.. geellii banggeett..! Uuuff.., ggellii
bannget..! Uuff ggllii..”
Dan secara tiba-tiba kedua tangannya
mencakar punggung saya, kedua kakinya menegang, dadanya membusung naik
diikuti dengan getaran tubuh yang hebat sambil mengerang, “Uuugghhff
Aaallvii.., uuff aku mmauu kkeelluua.. aarr..”
Nafasnya tersengal dan memburu, tandanya dia sudah sampai di puncak kenikmatan seorang wanita.
“Aaallvii.., kamu belum yaa..? Sini kukulum biar cepet nyampai.” suara Mbak Eva sambil nafasnya masih memburu.
Dia membungkuk di pangkuan saya, saya
telentang di jok. Dia kembali mengulum batang kejantanan saya. Bibir
yang manis dan mungil kembali mengocok-ngocok rudal saya. Lidahnya
dengan lembut menyapu kepala kemaluan saya. Sensasi yang tadi sempat
terputus, kembali dapat saya rasakan. Kaki saya menegang, pantatku
terangkat, tangan saya meremas-remas kedua pipinya.
Aliran listrik menjalar dari kepala
kejantanan saya, naik ke ubun-ubun dan sekujur tubuh. Aliran tersebut
kembali lagi bersama-sama mengarah ke ujung rudal saya, ke kepala
kemaluan saya, dan akhirnya keluar bersama-sama dengan cairan putih dan
kental ke mulut Mbak Eva, ke bibir Mbak Eva, ke hidungnya dan ke
pipinya, banyak sekali.
Seakan-akan habis sudah cairan yang ada
di tubuh ini, lemas kedua tubuh kami. Untuk sejenak kami berdua berdiam
diri, untuk menikmati sensasi kami, untuk mengatur nafas kami dan untuk
menenangkan emosi kami.
Read more...